Rabu, 14 April 2021

LITERASI PPKn 2021

JEJAK-JEJAK PERJUANGAN PANGLIMA BESAR SOEDIRMAN Yogyakarta adalah ibukota perjuangan. Hampir di setiap sudut kota Jogja masih dapat ditemukan bukti-bukti pada masa perjuangan. Mulai dari bangunan hingga benda-benda bersejarah sebagai saksi perjuangan. Bukti yang meyakinkan adalah Yogyakarta pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Saat itu Belanda melancarkan Agresi Militer ke-2 hingga dicetuskan perang gerilya dan Serangan Umum 1 Maret 1949. Perang gerilya tidak lepas dari peran Panglima Besar Jenderal Soedirman. Jendral Sudirman adalah tokoh kemerdekaan yang lahir pada 24 Januari 1916 di Bodas, Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah. Ayah Sudirman adalah pekerja pabrik gula di Kalibagor yang bernama Karsit Kartowiraji dan ibu bernama Siyem yang masih keturunan wedana dari Rembang. Pada usia 8 tahun, Sudirman kecil diangkat anak oleh Raden Cokro Sumonaryo seorang asisten wedana di Rembang. Sudirman menempuh pendidikan di Holland Indieschool (HIS) atau sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda di Purworejo. Setelah lulus melanjutkan sekolah ke Taman Siswa lalu menempuh sekolah guru di HIK Muhammadiyah Surakarta. Meski tidak lulus, Sudirman menjadi guru HIS Muhammadiyah di Cilacap. Karir kemiliteran dimulai pada 1943, saat itu Sudirman menjadi anggota Pembela Tanah Air (Peta). Setelah selesai pelatihan di Bogor, Sudirman mendapatkan pangkat shodanco dan menjadi komandan batalyon peta di Kroya Jawa Tengah. Setelah Indonesia merdeka Sudirman bergabung menjadi tentara keamanan rakyat atau TKR. Saat menjadi anggota TKR Sudirman berhasil merebut senjata pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah. Karena kepiawaiannya dalam bidang militer Sudirman diangkat sebagai Panglima Divisi 5 TKR dengan pangkat kolonel. Perang besar pertama yang dipimpin Sudirman adalah perang melawan tentara Inggris dan NICA Belanda pada November-Desember 1945 yang dikenal sebagai pertempuran Palagan Ambarawa. Pertempuran berakhir dengan kemenangan. Atas berbagai prestasi militernya, pada 18 Desember 1945 Sudirman dilantik menjadi jenderal oleh Presiden Soekarno. Seiring perkembangan TKR menjadi TNI Sudirman dilantik menjadi Panglima Besar bersama pucuk TNI lainnya di Gedung Agung Yogyakarta pada 28 Juni 1947. Sejarawan, Darto Harnoko menjelaskan, pada masa Agresi Militer Belanda ke-2 atau masa perang kemerdekaan ke-2 ketika masuknya tentara Belanda pada 19 Desember 1948 Sudirman memberikan pernyataan penting saat bertemu Soekarno. Soekarno meminta Suridman yang sakit istirahat saja. Sudirman menolak sebab ingin bersatu dengan rakyat. Karena sesuai ucapannya, Sudirman harus bergabung dengan rakyat menentukan kemerdekaan Indonesia. Ketika penyakit tuberkolosis semakin parah, pada 19 Desember 1948 Belanda menguasai Yogyakarta dan menangkap para pemimpin negara. Dari rumahnya di Bintaran, Panglima Besar Jenderal Sudirman terus memperhatikan pesawat-pesawat Belanda yang terus mengobral tembakan. Karena khawatir Belanda menyerang kediaman Jendral Sudirman, dr Suwondo menyarankan Panglima Besar Jenderal Sudirman meninggalkan kota Yogyakarta. Setelah membakar semua dokumen yang ada perjalanan gerilya dimulai dari kediaman Panglima Besar Jenderal Sudirman menuju Kadipaten dan dilanjutkan ke Kretek Bantul. Begitu Sudirman menentukan perang gerilya, otomatis harus bergerilya di wilayah pedesaan. Pertama kali ke selatan, Kretek lalu ke selatan lagi ke Parangtritis ke Imogiri baru naik. Karena sakit yang diderita tidak memungkinkan Sang Jenderal berjalan kaki untuk tetap melanjutkan gerilya, Panglima Besar Jenderal Sudirman ditandu oleh para pengikut setianya. Setelah dari Imogiri naik ke Panggang perjalanan dilanjutkan menuju Palihan Gunungkidul menggunakan dokar. Berhenti sejenak di sana lalu ke Wonogiri. Di Wonogiri Sudirman berhenti bahkan mendapat gempuran-gempuran dari Belanda yang mempunyai intelijen. Dari Wonogiri perjalanan dilanjutkan menuju Jawa Timur melalui Ponorogo dan Trenggalek. Pada 24 Desember 1948 sampai di Kediri. Dari Kediri rombongan menuju Desa Sukarame, karena dirasa tidak aman perjalanan dilanjutkan menuju Desa Karangnongko dan menuju lereng gunung Wilis. Perjalanan dilanjutkan pada 17 Januari 1949. Saat dalam perjalanan terjadi penggeledahan yang dilakukan Belanda. Untuk menghindari kontra dengan pasukan Belanda, rombongan masuk hutan Sedayu dan menuju Sawahan. Selama perjalanan gerilya Jenderal Sudirman memakai nama samaran Bapak Gedhe Abdullah Lelono Putra atau Pakdhe. Dari nama samaran itu Sudirman lebih leluasa untuk mengundang kurir-kurir yang berkaitan dengan strategi perjuangan gerilya. Surat-surat yang dibuat Sudirman sangat menentukan strategi perang gerilya terkait serangan umum 1 Maret 1949. Saat pasukan Sudirman sedang bergerilya, di Yogyakarta dilancarkan serangan umum yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949. Adanya serangan umum ini menunjukkan pada dunia internasional bahwa Indonesia dan kekuatan militernya masih ada. Dan membuktikan kebohongan Belanda yang menyatakan Republik Indonesia dan TNI telah hancur. Hal ini yang menyebabkan terpojoknya Belanda dalam percaturan politik dunia hingga terjadi perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949. Sementara itu pasukan gerilya yang dipimpin Panglima Besar Jenderal Sudirman masih melanjutkan perjalanan hingga menemukan tempat yang dirasa aman yaitu Dukuh Sobo, Desa Pakis, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan. Pasukan Jendral Sudirman menetap cukup lama di tempat ini pada April-7 Juli 1949. Sebagai markas Komando digunakan rumah milik Karso Sumito. Dari rumah sederhana inilah Panglima Besar Jenderal Sudirman bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Di desa Sobo ini Sudirman betul-betul selalu bekerjasama dengan masyarakat pedesaan. Karena Sudirman mengatakan sudah sejak dulu ia tanpa masyarakat atau rakyat tidak akan bisa menumpas penjajah. Gerilya kita ini selalu bersendikan rakyat. Pada 29 Juni 1949 Yogyakarta telah kembali dan kondisi keamanan sudah kondusif. Presiden, Wakil presiden dan para pemimpin yang lain tiba di bandara Maguwo dari pengasingan pada 6 Juli 1949. Saat itu hanya Panglima Besar Jenderal Sudirman yang belum tiba di Yogyakarta. Jadi misi pendudukan yang pertama di Sobo itu ada tokoh penting yang pada waktu itu meyakinkan Sudirman untuk ke Jogja Kembali ke ibukota Republik, yaitu Rosihan Anwar, wartawan Menur dan Letkol Soeharto. Di dalam suatu pembicaraan Sudirman mengatakan nanti dulu dan tidak akan cepat-cepat menentukan langkah masuk kota Jogja sebab Belanda itu sangat licik. Akhirnya pada Juni penjemputan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX beserta stafnya waktu itu yang ada di Jogja untuk menjemput Sudirman di Piyungan. Sampai di kota Jogja, Panglima Besar Jenderal Sudirman langsung menuju Gedung Agung untuk bertemu Presiden Soekarno dan wakil presiden Mohammad Hatta. Satu hal penting pada pertemuan Panglima Besar Soedirman dan Presiden Soekarno adalah pernyataan Sudirman waktu itu yaitu mulai hari ini kita tidak boleh dijajah lagi oleh bangsa lain. Jadi kita harus seratus persen merdeka dan berdaulat penuh. Dari perjuangan tersebut diatas dapat nilai-nilai PANCASILA yaitu : 1. Rela berkorban demi kemerdekaan bangsa Indonesia 2. Semangat perjuangan untuk negara dan bangsa 3. Semangat dan jiwa Nasionalisme yang tinggi Bagamana pendapat kalian bila kalian ikut melakukan perang gerilya bersama Jendral Sudirman pada masa itu silahkan tulis kontar kalian di kolom komentar

1 komentar:

  1. Pasti keren bisa ikut berjuang bersama jendral yang paling dihormati oleh bangsa Indonesia.

    BalasHapus